Minggu, 04 Oktober 2015

essay Islam nusantara: antara idealisme dan realita

Setelah sekian lama menganggur dari menulis, kali ini ane pengen share salah satu tulisan ane yang digunakan untuk memenuhi tugas asrama. So check this out.
Islam Nusantara: Antara Idealisme dan Realita
Sebuah Evaluasi oleh Faqih Abdurrahman
Jika kita ingin membahas Islam Nusantara, ada satu organisasi yang tidak bisa lepas untuk ikut dibahas yaitu Nahdatul Ulama atau yang lebih dikenal dengan akronim NU. Organisasi ini merupakan organisasi Islam terbesar yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari[1], salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Alasan kenapa NU tidak bisa lepas dibahas adalah organisasi ini merupakan pencetus gagasan ‘Islam Nusantara’. Pada Muktamar ke-33 NU, ‘Islam Nusantara’ menjadi tema besar muktamar yang dirangkai dalam kalimat “Meneguhkan Islam Nusantara Untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”. Tema ini merupakan penanda bahwa ‘Islam Nusantara’ merupakan bahasan pokok dalam pengembangan NU di masa mendatang.
Setelah ‘Islam Nusantara’ menjadi tema besar Muktamar ke-33 NU, gagasan ini sebenarnya sudah dikemukakan dan ditelaah oleh dua tokoh NU yaitu Rais Aam KH Mustofa Bisri dan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj. Menurut KH Mustofa Bisri, ‘Islam Nusantara’ adalah solusi untuk peradaban, dimana nilai-nilai harmoni dan sosial masyarakat yang dibutuhkan oleh masyarakat berperadaban ada dalam nilai-nilai ‘Islam Nusantara’. ‘Islam Nusantara’ sendiri berkembang berdasarkan atas bimbingan jaringan ulama Aswaja yang memiliki kedalaman ilmu agama dan mampu meleburkan diri mereka di tengah masyarakat, sehingga dengan sendirinya membentuk corak masyarakat Nusantara yang khas. Para ulama Aswaja mengedepankan kebersamaan, gotong royong, dan persatuan sosial dalam NKRI yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini merupakan konsep yang mencerminkan pemahaman Islam Aswaja yang berintikan rahmat terhadap sesama. Kondisi yang berbeda dengan makna Islam Rahmatan lil ‘Alamin tejadi di Timur Tengah yang merupakan kiblat Islam. Kondisi disana sudah tidak cocok dengan pandangan non-muslim dimana banyak terjadi konflik akibat ketidakjelasan politik dan agama sehingga muncul gejala islamphobia di negara mayoritas non-muslim. Lebih lanjut, KH Mustofa Bisri menggambarkan ‘Islam Nusantara’ sebagai Islam yang ada di Indonesia dari dulu hingga sekarang seperti yang diajarkan oleh Walisongo, yaitu Islam yang damai, rukun, tidak egois, dan rahmat bagi semua. Walisongo tidak mengajarkan Islam hanya dengan lisan tetapi juga dengan perbuatan[2].
Menurut KH Said Aqil Siroj, ‘Islam Nusantara’ adalah sarana pendorong terwujudnya perdamaian dengan mengkombinasikan antara Islam dan nasionalisme. Untuk itu, NU selaku penggagas akan mengekspor gagasan ‘Islam Nusantara’ ke tingkat dunia, terutama ke negara-negara Timur Tengah yang saat ini dalam kondisi tidak damai. Dalam masalah keilmuan, ulama Aswaja banyak berguru kepada ulama yang berasal dari Timur Tengah, tetapi dalam pengaplikasian ilmu yang didapat, tidak serta merta mengikuti apa yang dilakukan oleh ulama Timur Tengah, bahkan menyarankan ulama Timur Tengah untuk mempelajari cara ulama Aswaja mengaplikasikan ilmu yang didapat. KH Said Aqil Siroj juga mengatakan bahwa ulama Timur Tengah masih dalam tahap mendalami ilmu-ilmu agama tetapi belum bisa memasuki tahap pembinaan terhadap umat, yang dalam hal ini bisa dipelajari oleh ulama Timur Tengah dari ulama Aswaja. Selain itu, ‘Islam Nusantara’ juga bisa dijadikan sebagai bentuk penegasan Islam yang memberi kesejahteraan dan kedamaian sebagaimana yang terjadi di Indonesia[3]. Dengan digunakannya gagasan ‘Islam Nusantara’ oleh negara-negara lain, diharapkan kiblat peradaban Islam akan bergeser dari yang semula berada di Timur Tengah menuju ke Indonesia[4].
Dukungan dan penolakan oleh beberapa ulama Islam tehadap gagasan ‘Islam Nusantara’ telah terjadi sejak pertama kali gagasan ini dimunculkan. Salah satu dukungan untuk gagasan ini berasal dari KH Afifuddin Muhajir. Beliau mengatakan bahwa gagasan ini berada pada konteks syari’at ijtihadiyyah yang bersifat dinamis dan tidak menyasar kepada konteks aqidah, tasawuf, dan syari’at tsawabith. Ciri dari syari’at ijtihadiyyah adalah memiliki hukum yang bersifat umum, adanya prinsip-prinsip yang terkadang merinci, dan dapat berubah hukumnya dengan ijtihad yang berdasarkan pada kondisi masyarakat. Beliau mengambil salah satu contoh syari’at ini yaitu dalam hal kebolehan penentuan harga bagi pedagang. Pada masa Rasulullah Shallahu Alaihi Wasalam, hal ini dilarang tetapi ketika masa tabi’in, hal ini diperbolehkan. Perbedaan ini terjadi karena kondisi pasar yang berubah dimana pada masa Rasulullah Shallahu Alaihi Wasalam, harga melambung karena kelangkaan barang dan meningkatnya penawaran, sedangkan pada masa tabi’in disebabkan oleh keserakahan pedagang. Di sini para tabi’in membedakan antara ekonomi modern dengan persaingan sempurna dan pasar monopoli atau oligopoli. Dari pengertian syari’at ini, KH Afifuddin mengatakan boleh saja menambahkan ‘Nusantara’ lain di belakang ‘Islam’ sebagai pemaknaan bahwa pemahaman, pengamatan, dan penerapan Islam dalam fiqih mu’amalah mengikuti hasil dialektika antara nash, syari’at, dan ‘urf dengan budaya dan realita di bumi Nusantara[5].
Sementara penolakan pada gagasan ini dikemukakan oleh Habib Riziq Sihab. Beliau memberikan 8 alasan penolakan terhadap gagasan ini yang dapat dirangkum menjadi 2 alasan. Pertama, gagasan ini seperti menggambarkan bahwa Islam tidak diturunkan kepada orang non-Arab tetapi kepada orang Arab yang kemudian memasuki negara Indonesia untuk menyebarkan Islam sehingga Islam harus menyesuaikan terhadap tradisi dan budaya yang telah berkembang di Indonesia. Akibatnya, Islam akan terpecah-pecah menjadi ‘Islam’ yang berbeda-beda tergantung negaranya. Kedua, gagasan ini juga menegaskan bahwa yang harus diambil adalah agama Islam, bukan Arabnya sehingga segala hal yang berbau Arab harus ditanggalkan. Akibatnya, hukum dan tradisi Islam akan dikatakan sebagai hukum dan tradisi Arab yang harus disingkirkan oleh penganut ‘Islam’. Beberapa hukum dan tradisi Islam yang bisa disingkirkan oleh gagasan ini adalah membaca Al-Quran dengan cara bicara dan bahasa orang Arab, mengenakan jilbab bagi muslimah, mengucapkan “Assalamu’alaikum” ketika berjumpa, dan terakhir, mengubah bahasa Al-Quran menjadi bahasa asli negara ‘Islam’[6].
Pandangan kedua tokoh ini, baik dari segi dukungan maupun penolakan, dapat memberikan poin penting dalam merumuskan ‘Islam Nusantara’ sebagai gagasan yang layak untuk diangkat oleh masyarakat Indonesia. Dari pernyataan tokoh-tokoh NU yang menjelaskan maksud dan tujuan dari gagasan ‘Islam Nusantara’ ini, didapat beberapa sisi posisif atau manfaat dari gagasan ini. Pertama, memberikan sudut pandang baru terhadap non-muslim bahwa negara mayoritas Islam tidak selamanya berperang, walaupun tetap ada konflik. Kedua, memberikan solusi terhadap permasalahan konflik yang terjadi di negara mayoritas Islam lain dengan memberikan contoh nyata terhadap penyelesaian konflik. Ketiga, memberikan gambaran bagaimana Islam yang anti kekerasan dan pembawa perdamaian kepada penganut islamphobia. Keempat, memberikan role model terhadap penyatuan konsep agama dengan konsep nasionalisme yang sejak dulu menjadi permasalahan di dunia. Kelima, menjadikan Indonesia sebagai tempat dan kiblat ilmu-ilmu dunia Islam seperti sosial dan politik.
Selain dapat menghasilkan manfaat dalam penerapan gagasan ini, beberapa penolakan dari tokoh Islam dapat memberikan gambaran seperti apa sisi negatif atau mudharat yang timbul jika gagasan ini terwujud. Pertama, memperjelas perpecahan umat Islam se-dunia karena terjadi pembagian oleh tata cara dan tradisi dalam melaksanakan ajaran Islam. Kedua, dapat dijadikan sebagai alat pengadu domba antar umat Islam oleh non-muslim dengan cara membenturkan perbedaan paham terhadap budaya lokal. Ketiga, terjadi pendangkalan terhadap hukum dan tradisi Islam yang luhur seperti tilawah, zikir, salam, dan lain-lain. Keempat, mempermudah penistaan terhadap hukum dan tradisi Islam dengan menyebutkan sebagai budaya Arab. Kelima, mengurangi penghormatan kepada Rasulullah Shallahu Alaihi Wasalam yang orang Arab asli. Keenam, pendangkalan makna situs-situs Islam yang sudah dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsha, dan lain sebagainya. Ketujuh, menumbuhkembangkan pemikiran-pemikiran yang merusak Islam dengan mengatasnamakan toleransi dan kebebasan.
Dari manfaat dan mudharat terhadap pelaksanaan gagasan ‘Islam Nusantara’ dapat dikritisi beberapa hal. Pertama, konsep ‘Islam Nusantara’ masih dalam idealisme tetapi sudah berbicara realita. Maksudnya adalah Islam yang berkembang di Nusantara masih berada dalam tahap penyempurnaan aqidah karena masih banyak tradisi Nusantara yang sangat tidak sesuai dengan Aqidah Islamiyah. Contoh nyatanya adalah banyaknya daerah di Indonesia, terutama Jawa yang masih memberikan sesajen dalam bentuk pengorbanan hewan ternak seperti di daerah Banyuwangi. Yang terjadi di Banyuwangi adalah mengorbankan kerbau dan melarungnya setiap tahun untuk meminta berkah. Pengorbanan ini bertentangan dengan aqidah tetapi Walisongo selaku da’i membiarkannya padahal mereka paham dengan aqidah. Hal ini terjadi karena strategi dakwah Walisongo yang melalui tradisi dan tidak mungkin Islam bisa diterima oleh masyarakat Banyuwangi jika langsung bertentangan dengan tradisi Banyuwangi sehingga mereka berusaha mengurangi hilangnya nyawa yang sia-sia. Inilah salah satu kondisi nyata dari tahap penyempurnaan aqidah di daerah Jawa dan seharusnya ulama Aswaja yang berkonsentrasi terhadap budaya melakukan pembinaan terhadap tradisi ini.
Kedua, tidak layaknya percontohan yang dibawa oleh ‘Islam Nusantara’ untuk dijadikan contoh oleh dunia luar karena ‘Islam’ yang katanya berbaur dengan tradisi dan budaya Jawa masih mempunyai tradisi yang sangat bertentangan dengan hukum-hukum dasar Islam seperti primbon. Primbon adalah kepercayaaan orang Jawa bahwa segala nasib baik memiliki kaitan dengan hari atau tanggal. Dalam hukum Islam, semua jenis ramalan sudah jelas dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala karena bersifat syirik. Orang-orang Jawa yang mempercayai primbon masih banyak yang berada dalam daerah dakwah NU. Ini adalah satu tradisi Jawa yang masih tersebar luas dan dilakukan oleh banyak masyarakat Jawa yang beragama Islam.
Ketiga, penyelesaian konflik yang terjadi di Indonesia lebih mengedepankan semangat nasionalisme dan persatuan ditambah dengan kepasrahan korban untuk menerima apa yang sudah menimpa keluarga atau dirinya. Model penyelesaian ini tidak mungkin dilakukan dalam konteks selain Indonesia karena di Indonesia sendiri, model penyelesaian ini hanya berlaku di sebagian masyarakat terutama masyarakat Jawa. Selain itu, jika yang memulai konflik adalah kaum minoritas, maka proses perdamaian yang terjadi akan menuntut kaum mayoritas untuk bersabar dan tidak bertindak tegas kepada kaum minoritas. Proses ini berbeda dengan yang terjadi di Timur Tengah. Contohnya negara Saudi Arabia, ketika terjadi konflik antara dua orang dan salah satu terbunuh, maka tradisi yang berlaku adalah pembalasan atau jika rela, diganti dengan uang tebusan yang besar. Perbedaan ini yang menjadikan ‘Islam Nusantara’ akan sulit untuk dijadikan referensi penyelesaian konflik berkepanjangan di Timur Tengah. Sesuai dengan fakta yang ada di lapangan, konflik yang sedang terjadi di Timur Tengah tidak serta merta ada karena masyarakatnya yang tidak menjalankan syari’at Islam dengan baik, tetapi disebabkan adanya kepentingan non-muslim untuk mengadu domba dan melemahkan muslim sehingga mereka dapat menjalankan agenda-agenda mereka dengan leluasa.
Keempat, mudharat yang dikemukan masih berupa ketakutan terhadap masa depan Islam sehingga tidak relevan dengan kondisi saat ini. Mudharat yang dikemukakan juga hanya berupa pendapat walaupun mudharat ini muncul disebabkan adanya oknum-oknum yang bertindak sesuai dengan ketakutan serta peristiwa sejarah di masa lalu.
Setelah evaluasi terhadap manfaat dan mudharat dari gagasan ini, dapat disimpulkan bahwa gagasan ‘Islam Nusantara’ masih belum sesuai dengan tujuan besarnya serta dapat menimbulkan lebih banyak polemik dalam umat Islam sendiri. Organisasi NU jika ingin mengekspor gagasan ini, maka yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah memperbaiki masyarakat Indonesia sehingga sesuai dengan hukum Islam dan tidak ada penyimpangan dalam hal aqidah, tasawuf, dan syari’at tsawabith. Selain itu, NU harus bisa memperjelas maksud dan tujuan dari gagasan ini karena berdasarkan definisi dan maksud yang dikemukakan oleh NU, kosa kata ‘Islam Nusantara’ tidak cocok dengan gambaran tersebut karena Islam bukan merupakan kata benda yang bisa disematkan kata lain di belakangnya. Dengan penggambaran tersebut, lebih cocok jika menggunakan kata ‘Muslim Nusantara’ karena yang digagas adalah pelaku Islam yang bertempat tinggal di Indonesia sedangkan kata ‘Islam’ itu sendiri tidak dijadikan sebagai pokok gagasan.
Ditengah-tengah usaha kaum muslim seluruh dunia untuk mengabungkan tujuan dan menghilangkan perbedaan, munculnya gagasan ini bersifat kontradiktif dengan usaha tersebut karena penyematan kata penjelas pada suatu kata hanya membatasi makna kata tersebut sehingga penyematan kata ‘Nusantara’ pada ‘Islam’ selain mengurangi makna kata Islam, juga memberikan batas yang jelas terhadap ‘Islam’ yang berbeda dengan ‘Islam’ lain. Seharusnya NU sebagai organisasi Islam terbesar di negara muslim terbesar di dunia tidak membatasi makna Islam dan berusaha untuk mempersatukan Islam yang sekarang sedang dipecah-belah.
Dari semua pembahasan diatas, penulis dengan tegas mengoreksi gagasan ‘Islam Nusantara’ karena beberapa sebab yang telah dijelaskan diatas.
Sekian sedikit tulisan dari ane untuk pembaca semua. “yang terbaik bukan menghancurkan yang lama dan membuat yang baru, tetapi merawat yang lama dan memperbaikinya”. Saya faqih[dot]packman, terimakasih.





[1] http://www.nu.or.id/ diakses 3 Oktober 2015
[2] Idem
[3] Idem
[4] http://news.okezone.com/ diakses 3 Oktober 2015
[5] http://khazanah.republika.co.id/ diakses 3 Oktober 2015
[6] http://www.eramuslim.com/ diakses 3 Oktober 2015

1 komentar: