Setelah sekian
lama menganggur dari menulis, kali ini ane pengen share salah satu tulisan ane yang
digunakan untuk memenuhi tugas asrama. So check this out.
Islam
Nusantara: Antara Idealisme dan Realita
Sebuah
Evaluasi oleh Faqih Abdurrahman
Jika
kita ingin membahas Islam Nusantara, ada satu organisasi yang tidak bisa lepas
untuk ikut dibahas yaitu Nahdatul Ulama atau yang lebih dikenal dengan akronim
NU. Organisasi ini merupakan organisasi Islam terbesar yang didirikan oleh KH
Hasyim Asy’ari[1],
salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Alasan kenapa NU tidak bisa lepas
dibahas adalah organisasi ini merupakan pencetus gagasan ‘Islam Nusantara’. Pada
Muktamar ke-33 NU, ‘Islam Nusantara’ menjadi tema besar muktamar yang dirangkai dalam kalimat “Meneguhkan Islam Nusantara Untuk Peradaban Indonesia dan
Dunia”. Tema ini merupakan penanda bahwa ‘Islam Nusantara’ merupakan bahasan
pokok dalam pengembangan NU di masa mendatang.
Setelah ‘Islam Nusantara’ menjadi tema besar
Muktamar ke-33 NU, gagasan ini sebenarnya sudah dikemukakan dan ditelaah oleh dua
tokoh NU yaitu Rais Aam KH Mustofa
Bisri dan Ketua Umum PBNU KH
Said Aqil Siroj. Menurut KH Mustofa Bisri, ‘Islam Nusantara’ adalah solusi untuk
peradaban, dimana nilai-nilai harmoni dan sosial masyarakat yang dibutuhkan
oleh masyarakat berperadaban ada dalam nilai-nilai ‘Islam Nusantara’. ‘Islam
Nusantara’ sendiri berkembang berdasarkan atas bimbingan jaringan ulama Aswaja yang memiliki kedalaman ilmu agama dan mampu meleburkan diri
mereka di tengah masyarakat, sehingga dengan sendirinya membentuk corak
masyarakat Nusantara yang khas. Para ulama Aswaja mengedepankan kebersamaan,
gotong royong, dan persatuan sosial dalam NKRI yang berlandaskan Pancasila dan
UUD 1945. Hal ini merupakan konsep yang mencerminkan pemahaman Islam Aswaja
yang berintikan rahmat terhadap sesama. Kondisi yang berbeda dengan makna Islam
Rahmatan lil ‘Alamin tejadi di Timur
Tengah yang merupakan kiblat Islam. Kondisi disana sudah tidak cocok dengan
pandangan non-muslim dimana banyak terjadi konflik akibat ketidakjelasan
politik dan agama sehingga muncul gejala islamphobia
di negara mayoritas non-muslim. Lebih lanjut, KH Mustofa Bisri menggambarkan
‘Islam Nusantara’ sebagai Islam yang ada di Indonesia dari dulu hingga sekarang
seperti yang diajarkan oleh Walisongo, yaitu Islam yang damai, rukun, tidak
egois, dan rahmat bagi semua. Walisongo tidak mengajarkan Islam hanya dengan
lisan tetapi juga dengan perbuatan[2].
Menurut KH Said Aqil Siroj, ‘Islam Nusantara’ adalah sarana
pendorong terwujudnya perdamaian dengan mengkombinasikan antara Islam dan
nasionalisme. Untuk itu, NU selaku penggagas akan mengekspor gagasan ‘Islam
Nusantara’ ke tingkat dunia, terutama ke negara-negara Timur Tengah yang saat
ini dalam kondisi tidak damai. Dalam masalah keilmuan, ulama Aswaja banyak berguru
kepada ulama yang berasal dari Timur Tengah, tetapi dalam pengaplikasian ilmu
yang didapat, tidak serta merta mengikuti apa yang dilakukan oleh ulama Timur Tengah,
bahkan menyarankan ulama Timur Tengah untuk mempelajari cara ulama Aswaja
mengaplikasikan ilmu yang didapat. KH Said Aqil Siroj juga mengatakan bahwa
ulama Timur Tengah masih dalam tahap mendalami ilmu-ilmu agama tetapi belum
bisa memasuki tahap pembinaan terhadap umat, yang dalam hal ini bisa dipelajari
oleh ulama Timur Tengah dari ulama Aswaja. Selain itu, ‘Islam Nusantara’ juga
bisa dijadikan sebagai
bentuk penegasan Islam yang memberi kesejahteraan dan kedamaian sebagaimana
yang terjadi di Indonesia[3].
Dengan digunakannya gagasan ‘Islam Nusantara’ oleh negara-negara lain,
diharapkan kiblat peradaban Islam akan bergeser dari yang semula berada di
Timur Tengah menuju ke Indonesia[4].
Dukungan dan penolakan oleh
beberapa ulama Islam tehadap gagasan ‘Islam Nusantara’ telah terjadi sejak
pertama kali gagasan ini dimunculkan. Salah satu dukungan untuk gagasan ini
berasal dari KH Afifuddin Muhajir. Beliau mengatakan bahwa gagasan ini berada
pada konteks syari’at ijtihadiyyah yang bersifat dinamis dan tidak
menyasar kepada konteks aqidah, tasawuf, dan syari’at tsawabith. Ciri dari syari’at ijtihadiyyah adalah memiliki hukum yang bersifat umum, adanya
prinsip-prinsip yang terkadang merinci, dan dapat berubah hukumnya dengan ijtihad yang berdasarkan pada kondisi
masyarakat. Beliau mengambil salah satu contoh syari’at ini yaitu dalam hal
kebolehan penentuan harga bagi pedagang. Pada masa Rasulullah Shallahu Alaihi Wasalam, hal ini
dilarang tetapi ketika masa tabi’in,
hal ini diperbolehkan. Perbedaan ini terjadi karena kondisi pasar yang berubah
dimana pada masa Rasulullah Shallahu
Alaihi Wasalam, harga melambung
karena kelangkaan barang dan meningkatnya penawaran, sedangkan pada masa tabi’in disebabkan oleh keserakahan
pedagang. Di sini para tabi’in
membedakan antara ekonomi modern dengan persaingan sempurna dan pasar monopoli
atau oligopoli. Dari pengertian syari’at ini, KH Afifuddin mengatakan boleh
saja menambahkan ‘Nusantara’ lain di belakang ‘Islam’ sebagai pemaknaan bahwa
pemahaman, pengamatan, dan penerapan Islam dalam fiqih mu’amalah mengikuti hasil dialektika antara nash, syari’at, dan ‘urf dengan budaya dan realita di bumi Nusantara[5].
Sementara penolakan pada gagasan ini
dikemukakan oleh Habib Riziq Sihab. Beliau
memberikan 8 alasan penolakan terhadap gagasan ini yang dapat dirangkum menjadi
2 alasan. Pertama, gagasan ini seperti menggambarkan bahwa Islam tidak
diturunkan kepada orang non-Arab tetapi kepada orang Arab yang kemudian
memasuki negara Indonesia untuk menyebarkan Islam sehingga Islam harus
menyesuaikan terhadap tradisi dan budaya yang telah berkembang di Indonesia.
Akibatnya, Islam akan terpecah-pecah menjadi ‘Islam’ yang berbeda-beda
tergantung negaranya. Kedua, gagasan ini juga menegaskan bahwa yang harus
diambil adalah agama Islam, bukan Arabnya sehingga segala hal yang berbau Arab
harus ditanggalkan. Akibatnya, hukum dan tradisi Islam akan dikatakan sebagai
hukum dan tradisi Arab yang harus disingkirkan oleh penganut ‘Islam’. Beberapa
hukum dan tradisi Islam yang bisa disingkirkan oleh gagasan ini adalah membaca
Al-Quran dengan cara bicara dan bahasa orang Arab, mengenakan jilbab bagi
muslimah, mengucapkan “Assalamu’alaikum”
ketika berjumpa, dan terakhir, mengubah bahasa Al-Quran menjadi bahasa asli
negara ‘Islam’[6].
Pandangan kedua tokoh ini, baik dari segi dukungan maupun
penolakan, dapat memberikan poin penting dalam merumuskan ‘Islam Nusantara’
sebagai gagasan yang layak untuk diangkat oleh masyarakat Indonesia. Dari
pernyataan tokoh-tokoh NU yang menjelaskan maksud dan tujuan dari gagasan
‘Islam Nusantara’ ini, didapat beberapa sisi posisif atau manfaat dari gagasan
ini. Pertama, memberikan sudut pandang baru terhadap non-muslim bahwa negara
mayoritas Islam tidak selamanya berperang, walaupun tetap ada konflik. Kedua,
memberikan solusi terhadap permasalahan konflik yang terjadi di negara
mayoritas Islam lain dengan memberikan contoh nyata terhadap penyelesaian
konflik. Ketiga, memberikan gambaran bagaimana Islam yang anti kekerasan dan
pembawa perdamaian kepada penganut islamphobia.
Keempat, memberikan role model
terhadap penyatuan konsep agama dengan konsep nasionalisme yang sejak dulu
menjadi permasalahan di dunia. Kelima, menjadikan Indonesia sebagai tempat dan
kiblat ilmu-ilmu dunia Islam seperti sosial dan politik.
Selain dapat menghasilkan manfaat dalam penerapan gagasan ini,
beberapa penolakan dari tokoh Islam dapat memberikan gambaran seperti apa sisi
negatif atau mudharat yang timbul
jika gagasan ini terwujud. Pertama, memperjelas perpecahan umat Islam se-dunia
karena terjadi pembagian oleh tata cara dan tradisi dalam melaksanakan ajaran
Islam. Kedua, dapat dijadikan sebagai alat pengadu domba antar umat Islam oleh
non-muslim dengan cara membenturkan perbedaan paham terhadap budaya lokal.
Ketiga, terjadi pendangkalan terhadap hukum dan tradisi Islam yang luhur
seperti tilawah, zikir, salam, dan lain-lain. Keempat, mempermudah penistaan
terhadap hukum dan tradisi Islam dengan menyebutkan sebagai budaya Arab.
Kelima, mengurangi penghormatan kepada Rasulullah Shallahu Alaihi Wasalam yang orang Arab asli. Keenam, pendangkalan
makna situs-situs Islam yang sudah dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil
Aqsha, dan lain sebagainya. Ketujuh, menumbuhkembangkan pemikiran-pemikiran
yang merusak Islam dengan mengatasnamakan toleransi dan kebebasan.
Dari manfaat dan mudharat
terhadap pelaksanaan gagasan ‘Islam Nusantara’ dapat dikritisi beberapa hal.
Pertama, konsep ‘Islam Nusantara’ masih dalam idealisme tetapi sudah berbicara
realita. Maksudnya adalah Islam yang berkembang di Nusantara masih berada dalam
tahap penyempurnaan aqidah karena masih banyak tradisi Nusantara yang sangat
tidak sesuai dengan Aqidah Islamiyah.
Contoh nyatanya adalah banyaknya daerah di Indonesia, terutama Jawa yang masih memberikan
sesajen dalam bentuk pengorbanan hewan ternak seperti di daerah Banyuwangi. Yang
terjadi di Banyuwangi adalah mengorbankan kerbau dan melarungnya setiap tahun
untuk meminta berkah. Pengorbanan ini bertentangan dengan aqidah tetapi Walisongo selaku da’i
membiarkannya padahal mereka paham dengan aqidah.
Hal ini terjadi karena strategi dakwah Walisongo yang melalui tradisi dan tidak
mungkin Islam bisa diterima oleh masyarakat Banyuwangi jika langsung bertentangan
dengan tradisi Banyuwangi sehingga mereka berusaha mengurangi hilangnya nyawa
yang sia-sia. Inilah salah satu kondisi nyata dari tahap penyempurnaan aqidah di daerah Jawa dan seharusnya
ulama Aswaja yang berkonsentrasi terhadap budaya melakukan pembinaan terhadap
tradisi ini.
Kedua, tidak layaknya percontohan yang dibawa oleh ‘Islam
Nusantara’ untuk dijadikan contoh oleh dunia luar karena ‘Islam’ yang katanya
berbaur dengan tradisi dan budaya Jawa masih mempunyai tradisi yang sangat
bertentangan dengan hukum-hukum dasar Islam seperti primbon. Primbon adalah
kepercayaaan orang Jawa bahwa segala nasib baik memiliki kaitan dengan hari
atau tanggal. Dalam hukum Islam, semua jenis ramalan sudah jelas dilarang oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala karena
bersifat syirik. Orang-orang Jawa yang mempercayai primbon masih banyak yang
berada dalam daerah dakwah NU. Ini adalah satu tradisi Jawa yang masih tersebar
luas dan dilakukan oleh banyak masyarakat Jawa yang beragama Islam.
Ketiga, penyelesaian konflik yang terjadi di Indonesia lebih
mengedepankan semangat nasionalisme dan persatuan ditambah dengan kepasrahan
korban untuk menerima apa yang sudah menimpa keluarga atau dirinya. Model
penyelesaian ini tidak mungkin dilakukan dalam konteks selain Indonesia karena
di Indonesia sendiri, model penyelesaian ini hanya berlaku di sebagian
masyarakat terutama masyarakat Jawa. Selain itu, jika yang memulai konflik
adalah kaum minoritas, maka proses perdamaian yang terjadi akan menuntut kaum
mayoritas untuk bersabar dan tidak bertindak tegas kepada kaum minoritas.
Proses ini berbeda dengan yang terjadi di Timur Tengah. Contohnya negara Saudi
Arabia, ketika terjadi konflik antara dua orang dan salah satu terbunuh, maka
tradisi yang berlaku adalah pembalasan atau jika rela, diganti dengan uang
tebusan yang besar. Perbedaan ini yang menjadikan ‘Islam Nusantara’ akan sulit
untuk dijadikan referensi penyelesaian konflik berkepanjangan di Timur Tengah.
Sesuai dengan fakta yang ada di lapangan, konflik yang sedang terjadi di Timur
Tengah tidak serta merta ada karena masyarakatnya yang tidak menjalankan
syari’at Islam dengan baik, tetapi disebabkan adanya kepentingan non-muslim
untuk mengadu domba dan melemahkan muslim sehingga mereka dapat menjalankan agenda-agenda
mereka dengan leluasa.
Keempat, mudharat yang
dikemukan masih berupa ketakutan terhadap masa depan Islam sehingga tidak
relevan dengan kondisi saat ini. Mudharat
yang dikemukakan juga hanya berupa pendapat walaupun mudharat ini muncul disebabkan adanya oknum-oknum yang bertindak
sesuai dengan ketakutan serta peristiwa sejarah di masa lalu.
Setelah evaluasi terhadap manfaat dan mudharat dari gagasan ini, dapat disimpulkan bahwa gagasan ‘Islam
Nusantara’ masih belum sesuai dengan tujuan besarnya serta dapat menimbulkan
lebih banyak polemik dalam umat Islam sendiri. Organisasi NU jika ingin
mengekspor gagasan ini, maka yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah
memperbaiki masyarakat Indonesia sehingga sesuai dengan hukum Islam dan tidak
ada penyimpangan dalam hal aqidah, tasawuf, dan syari’at tsawabith. Selain itu, NU harus bisa memperjelas
maksud dan tujuan dari gagasan ini karena berdasarkan definisi dan maksud yang
dikemukakan oleh NU, kosa kata ‘Islam Nusantara’ tidak cocok dengan gambaran
tersebut karena Islam bukan merupakan kata benda yang bisa disematkan kata lain
di belakangnya. Dengan penggambaran tersebut, lebih cocok jika menggunakan kata
‘Muslim Nusantara’ karena yang digagas adalah pelaku Islam yang bertempat
tinggal di Indonesia sedangkan kata ‘Islam’ itu sendiri tidak dijadikan sebagai
pokok gagasan.
Ditengah-tengah usaha kaum muslim seluruh dunia untuk
mengabungkan tujuan dan menghilangkan perbedaan, munculnya gagasan ini bersifat
kontradiktif dengan usaha tersebut karena penyematan kata penjelas pada suatu
kata hanya membatasi makna kata tersebut sehingga penyematan kata ‘Nusantara’
pada ‘Islam’ selain mengurangi makna kata Islam, juga memberikan batas yang
jelas terhadap ‘Islam’ yang berbeda dengan ‘Islam’ lain. Seharusnya NU sebagai
organisasi Islam terbesar di negara muslim terbesar di dunia tidak membatasi
makna Islam dan berusaha untuk mempersatukan Islam yang sekarang sedang
dipecah-belah.
Dari semua pembahasan diatas, penulis dengan tegas mengoreksi
gagasan ‘Islam Nusantara’ karena beberapa sebab yang telah dijelaskan diatas.
Sekian
sedikit tulisan dari ane untuk pembaca semua. “yang terbaik bukan menghancurkan yang lama dan membuat yang baru,
tetapi merawat yang lama dan memperbaikinya”. Saya faqih[dot]packman,
terimakasih.
wow kak cerita menarik.kakak menulis ini untuk lomba apa?
BalasHapus