Selasa, 12 November 2013

menghasilkan sesuatu yg berkualitas

Ane ceritain pengalaman ane di beberapa hari yg lalu. Tentang teguran ustad ane dan buah pemikiran ane hasil dari teguran ustad ane tadi.

Jadi ceritanya gini. Kemaren siang ane ditegur sama guru ane. Dia bilang, “kamu gak pantas untuk berdiri dibelakang imam untuk menggantikan imam sholat. Seharusnya yg dibelakang imam itu ustad yg lain.” Trus karena ane orang yg taat pada guru (ane sendiri meragukan statement yg ini ^^), ane langsung aja pindah tempat ke shaf dibelakang. Set, set, set, sholat pun dilaksanakan dgn lancar. Setelah sholat ane kepikiran dgn teguran ustad yg tadi. Kenapa yg dibelakang imam harus ustad, dan kenapa kelas tiga gak boleh sholat dibelakang imam, emangnya kualitas kelas tiga kalah dgn kualitas ustad2 untuk mengimami sholat?
Menggelitik juga klo memikirkan teguran ustad ane. Karena mereka berusaha menciptakan suatu generasi berkualitas tp tidak yakin dgn kualitas dari generasi yg mereka ciptakan. Gimana? Lucu kan? Ini seperti orang masak kue tp gak mau buat makan kue tadi. Jika seseorang ingin menciptakan sesuatu berkualitas, pertama2 mereka harus yakin dgn kualitas barang yg mereka hasilkan. Karena apa yg didapat bersumber dari apa yg dipikirkan (kutipan film Secret). Satu dalil lagi yg membuat seseorang harus meyakini bahwa yg dihasilkannya adalah sesuatu yg berkualitas berbunyi, “Allah selalu sesuai prasangka hambanya.” Okelah klo misalnya ane emang gak punya kualitas menjadi imam, tp bagaimana dgn teman2 ane yg lain, apa mereka juga tidak punya kualitas yg mumpuni? Jgn2 ustad ane tadi percaya klo semua orang di angkatan ane gak punya kualitas sebagai imam. Semoga tidak. Amiin.
Sekarang yg menjadi pemikiran ane yg kedua adalah jika kelas tiga belum punya pengalaman mengimami jamaah sholat di daerahnya (sekolah) sendiri, bagaimana mereka bisa mengimami jamaah diluar daerahnya? Padahal ketika di luar daerahnya, bisa saja mereka disuruh mengimami jamaah yg menganggap mereka punya pengalaman dan kualitas untuk menjadi imam. Berdasarkan pengalaman pribadi ane (dan beberapa teman2), imam itu posisi yg susah dijalani karena jika mentalnya gak kuat, maka biasanya bacaan yg biasa dibacapun bisa lupa. Memupuk mental untuk menjadi imam itu tidak bisa dgn membaca banyak buku, karena praktek langsung di lapangan akan berbeda jauh dgn praktek imajiner dari bacaan buku (terkadang malah membaca buku bisa menambah tekanan mental karena besarnya tanggung jawab menjadi imam). Dan karena alasan pengalaman menjadi imam jugalah yg menjadikan imam2 besar sangat berkualitas untuk mengimami banyak jamaah. Jujur aja, ane sampai sekarang masih grogi buat jadi imam, tp bukan berarti ane gak mau jadi imam, malah ane berusaha menjadi imam untuk menghilangkan rasa gugup jika menjadi imam (dimulai dari mengimami jamaah kecil bersama klo sholat bareng teman2).
Dua hal pemikiran ane yg diatas tadi telihat berbeda tipe. Klo pemikiran ane yg pertama lebih cenderung membela ane dalam mengimami jamaah, maka pemikiran ane yg kedua lebih cenderung sebaliknya. Karenanya, sekarang ane jelasin inti dari postingan ini. Untuk menjadi imam, dibutuhkan sebuah kualitas, dan salah satu cara mendapatkan kualitas tadi adalah dgn mencari pengalaman yg dibutuhkan.

Demikian postingan ane kali ini. Seperti biasa, selalu ada kalimat terakhir. “untuk menghasilkan sesuatu yg berkualitas, pertama yakini bahwa kamu menghasilkan barang yg berkualitas, kemudian lakukan sesuatu yg menjadikan barang tersebut bisa berkualitas”. Saya faqih[dot]packman, terimakasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar