Ane ceritain
pengalaman ane di beberapa hari yg lalu. Tentang teguran ustad ane dan buah
pemikiran ane hasil dari teguran ustad ane tadi.
Jadi ceritanya
gini. Kemaren siang ane ditegur sama guru ane. Dia bilang, “kamu gak pantas
untuk berdiri dibelakang imam untuk menggantikan imam sholat. Seharusnya yg
dibelakang imam itu ustad yg lain.” Trus karena ane orang yg taat pada guru
(ane sendiri meragukan statement yg ini ^^), ane langsung aja pindah tempat ke
shaf dibelakang. Set, set, set, sholat pun dilaksanakan dgn lancar. Setelah
sholat ane kepikiran dgn teguran ustad yg tadi. Kenapa yg dibelakang imam harus
ustad, dan kenapa kelas tiga gak boleh sholat dibelakang imam, emangnya
kualitas kelas tiga kalah dgn kualitas ustad2 untuk mengimami sholat?
Menggelitik
juga klo memikirkan teguran ustad ane. Karena mereka berusaha menciptakan suatu
generasi berkualitas tp tidak yakin dgn kualitas dari generasi yg mereka
ciptakan. Gimana? Lucu kan? Ini seperti orang masak kue tp gak mau buat makan
kue tadi. Jika seseorang ingin menciptakan sesuatu berkualitas, pertama2 mereka
harus yakin dgn kualitas barang yg mereka hasilkan. Karena apa yg didapat
bersumber dari apa yg dipikirkan (kutipan film Secret). Satu dalil lagi yg
membuat seseorang harus meyakini bahwa yg dihasilkannya adalah sesuatu yg
berkualitas berbunyi, “Allah selalu sesuai prasangka hambanya.” Okelah klo
misalnya ane emang gak punya kualitas menjadi imam, tp bagaimana dgn teman2 ane
yg lain, apa mereka juga tidak punya kualitas yg mumpuni? Jgn2 ustad ane tadi
percaya klo semua orang di angkatan ane gak punya kualitas sebagai imam. Semoga
tidak. Amiin.
Sekarang yg
menjadi pemikiran ane yg kedua adalah jika kelas tiga belum punya pengalaman
mengimami jamaah sholat di daerahnya (sekolah) sendiri, bagaimana mereka bisa
mengimami jamaah diluar daerahnya? Padahal ketika di luar daerahnya, bisa saja
mereka disuruh mengimami jamaah yg menganggap mereka punya pengalaman dan
kualitas untuk menjadi imam. Berdasarkan pengalaman pribadi ane (dan beberapa
teman2), imam itu posisi yg susah dijalani karena jika mentalnya gak kuat, maka
biasanya bacaan yg biasa dibacapun bisa lupa. Memupuk mental untuk menjadi imam
itu tidak bisa dgn membaca banyak buku, karena praktek langsung di lapangan
akan berbeda jauh dgn praktek imajiner dari bacaan buku (terkadang malah
membaca buku bisa menambah tekanan mental karena besarnya tanggung jawab
menjadi imam). Dan karena alasan pengalaman menjadi imam jugalah yg menjadikan
imam2 besar sangat berkualitas untuk mengimami banyak jamaah. Jujur aja, ane
sampai sekarang masih grogi buat jadi imam, tp bukan berarti ane gak mau jadi
imam, malah ane berusaha menjadi imam untuk menghilangkan rasa gugup jika
menjadi imam (dimulai dari mengimami jamaah kecil bersama klo sholat bareng
teman2).
Dua hal
pemikiran ane yg diatas tadi telihat berbeda tipe. Klo pemikiran ane yg pertama
lebih cenderung membela ane dalam mengimami jamaah, maka pemikiran ane yg kedua
lebih cenderung sebaliknya. Karenanya, sekarang ane jelasin inti dari postingan
ini. Untuk menjadi imam, dibutuhkan sebuah kualitas, dan salah satu cara
mendapatkan kualitas tadi adalah dgn mencari pengalaman yg dibutuhkan.
Demikian postingan
ane kali ini. Seperti biasa, selalu ada kalimat terakhir. “untuk menghasilkan sesuatu yg berkualitas, pertama yakini bahwa kamu
menghasilkan barang yg berkualitas, kemudian lakukan sesuatu yg menjadikan
barang tersebut bisa berkualitas”. Saya faqih[dot]packman, terimakasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar